Kali ini aku dapet stimulus yang cukup mengagetkan sehingga
dengan spontan otak merespon dengan kalimat ‘apa jadinya??’
Nah, mungkin aku bukanlah satu- satunya yang terkagetkan
oleh stimulus ini, bisa jadi otakmu sependapat. Untuk membuktikannya silakan
baca kutipan fakta dibawah ini :
TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Djoko Santoso
mengatakan bahwa perguruan tinggi negeri sudah setuju menggunakan hasil
Ujian Nasional (UN) sebagai syarat masuk perguruan tinggi negeri.“Perguruan
tinggi sudah setuju,” kata Djoko ketika ditemui di kantornya, 4 Juni 2012
siang.
Djoko mengatakan kebijakan tersebut mulai diberlakukan tahun
depan. Dengan demikian, nantinya perguruan tinggi negeri tak perlu lagi
mengadakan tes atau ujian lain untuk menyaring calon mahasiwa. Cukup berpatokan
pada nilai UN siswa. “Agar irit, jadi tak perlu ada tes lain,” kata
dia.
Djoko mengatakan sistem penggunaan nilai UN sebagai syarat
masuk perguruan tinggi negeri sebenarnya sudah diterapkan tahun ini. “Calon
mahasiswa yang masuk melalui jalur undangan kan dilihat berdasarkan nilai UN,”
katanya.
Adapun daftar calon mahasiswa yang masuk melalui jalur
undangan itu ditentukan langsung oleh setiap perguruan tinggi negeri. Setiap
perguruan tinggi negeri ditetapkan untuk mencari 60 persen calon mahasiswa dari
jalur undangan.
Bagi kamu yang pertama kali mengetahui kenyataan ini mungkin
mendapat respon yang tak jauh berbeda dengan responku. Mengapa demikian? karena
aku, bahkan kita, menyadari beberapa kenyataan lain yang agaknya membuat fakta
yang satu ini sulit diterima, diantaranya:
UN difungsikan sebagai standar kelulusan, sehingga para
peserta uji beranggapan ‘tenang aja, asalkan nilai diatas nilai batas minimum
kelulusan pasti lulus kok’. Sedangkan ujian masuk PTN atau yang akrab disebut SNMPTN, UMPTN, atau
SPMB difungsikan untuk mengurutkan kemampuan perserta uji yang pada akhirnya
diseleksi sesuai dengan quota yang tersedia, sehingga para peserta uji berpikir
‘mau tidak mau aku harus mencapai nilai tertinggi nih’. Lalu apa jadinya jika
kedua fungsi itu disatukan yang sudah sangat jelas perbedaannya. Sepertinya
masih terbayang, tapi mari kita sinkronkan dengan fakta selanjutnya.
UN yang gak kredibel,
fakta ini sudah menjadi rahasia umum, SMA-ku salah satu contoh atas
rendahnya kejujuran UN. Mencontek, membeli kunci jawaban, merevisi jawaban
sudah menjadi tradisi tiap tahun bagi siswa, pengajar dan staff di sekolahku.
Tradisi inipun menyebar di sekolah lain dibuktikan dengan pengakuan teman
sekampusku yang berasal dari berbagai SMA dari berbagai daerah. Maka selain
meresponnya dengan ‘Apa Jadinya??’ fakta inipun mendapat respon ‘How ironic..’.
jadi sepertinya janganlah terlalu menyalahkan koruptor apabila terjadi kasus korupsi, lihat
jauh ke akarnya karena ternyata menjadi koruptor merupakan salah satu ‘mata
pelajaran’ di sekolah. Yang padahal mengurangi jumlah koruptor merupakan solusi
yang jauh lebih irit
Cukup dengan 2 fakta diatas saja aku cukup bisa menolak
fakta hasil Ujian Nasional yang akan dijadikan syarat untuk memasuki peruruan
tinggi negeri .
Yang paling membuatku bertanya- tanya apabila kebijakan ini
diberlakukan, yaitu apa jadinya jika nilai UN dijadikan syarat masuk PTN dengan
jurusan Seni atau Desain???, tentunya sangat membingungkan, diberlakukannya
jalur undangan pada jurusan seni atau desain saja sudah membuatku heran dan
berpikir ’kok bisa-bisanya menyeleksi mahasiswa senirupa atau desain hanya
dengan melihat nilai rapot?’. Namun sepertinya atas kesadaran ini pula tahun
ini FSRD mengurangi quota untuk jalur undangan.
Bahkan, apabila aku boleh berpendapat, jalur undangan yang
diberlakukan sejak 2011 lalu merupakan sistem yang menurutku agaknya kurang
efektif dalam penyeleksian. Disadarkan oleh beberapa fakta yang terkait
kualitas mahasiswa yang lolos lewat jalur undangan. Contoh konkritnya ada di
kampusku, ada seorang dosen yang mengadakan kuis yang di lembar jawabannya
dimintai informasi kepada mahasiswanya terkait jalur seleksi yang mereka tempuh
yakni, undangan atau tertulis. Setelah kuis dinilai, didapatkan kesimpulan
yakni mahasiswa yang lolos jalur tulis memperoleh nilai yang lebih tinggi
dibandingkan mahasiswa yang lolos jalur undangan. Fakta ini cukup mengevaluasi
dan menuntut kita untuk memperbaiki sistem penyeleksian jalur undangan
tersebut.
Adapun contoh konkrit kedua yang berasal dari fakultasku,
aku mengunjungi pameran penjurusan mahasiswa TPB FSRD beberapa waktu lalu, dari
200 sekian mahasiswa yang mengikuti pameran penjurusan ada lebih kurang 18
mahasiswa yang tidak mengikuti pameran, dengan alasan yang didapat yaitu tidak
adanya karya untuk dipamerkan, tak ada karya utnuk dipamerkan mengartikan
mahasiswa itu jarang mengerjakan tugas atau tugasnya yang hilang, sayangnya
kemungkinan pertamalah faktanya, karena karya yang dipamerkan merupakan karya-
karya terbaik yang ditugaskan di TPB. yang menguatkan atas ke-tidak
sependapat-anku terhadap jalur undangan yaitu mahasiswa yang tak mengikuti
pameran didominasi oleh mahasiswa yang lolos lewat jalur undangan.
Terlebih dampak yang mungkin didapat apabila jalur undangan
ini masih diterapkan, siswa SMA akan menjadikan nilai yang tinggi sebagai
orientasi akibatnya kegiatan non-akademik akan dikurangi dikarenakan fokus
tercurahkan pada cara untuk meninggikan nilai rapot, yang padahal kegiatan
non-akademik sangatlah efektif untuk mengasah soft-skill. Disamping itu standar penilaian para guru di SMA pasti
bervariasi, hal ini salah satunya
dipengaruhi oleh faktor letak. Soalnya, standar yang diberikan oleh guru SMA di
perkotaan lebih tinggi dibandingkan di daerah, hal itu pribadi aku sadari.
Namun sistem jalur undangan ini justru akan menguntungkan
tempat bimbingan belajar karena bimbel salah satu upaya untuk meninggikan nilai
rapot. Sehingga dampaknya siswa hanya
mengerti rumus praktis sebagaimana yang diberikan oleh bimbel- bimbel pada
umumnya dibanding konsepnya. Dampak lainnya akan sangat merugikan bagi mereka
yang tak ada kemampuan untuk mengikuti bimbel dengan kata lain mereka yang
mempunyai kemampuan ekonomi yang rendah. Kemungkinan yang jauh lebih buruk
yaitu sekolah mempunyai reputasi rendah bisa nekat merekayasa nilai rapot
siswanya agar siswanya dapat memasuki PTN favorit yang tentu pada akhirnya
dapat menaikkan reputasi sekolah tersebut.
Maka opiniku sampai saat ini masih sangat setuju apabila
ujian tertulis atau SNMPTN tertulis masih bisa diterapkan dalam penjaringan
mahasiswa PTN. Dan berharap nilai UN hanya berpengaruh terhadap kelulusan
sekolah, tidak lebih. Juga harapan lainnya sistem jalur undangan yang sudah 2
kali diberlakukan dapat dikaji ulang .
Itulah pendapatku atas stimulus yang cukup mengagetkan ini, fiuhh.
Apa jadinya ya? Hmm..